Continue reading...
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat
wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula
dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi
aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam
kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus,
kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat
pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam
kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti
misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh
dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat
menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan
memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu
boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan
pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj).
Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia
telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar
(kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam
kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun
binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian (rumah), seperti milhafah/baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah)
yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian
rumah) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, yaitu khimar, syariat telah
mewajibkan kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi
menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis
ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan
melalui jalanan umum.
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan
khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau
berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi
jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh
keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis
pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya
dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
“Hendaklah mereka mentutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.” (QS An Nuur : 31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya.” (QS Al Ahzab : 59)
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah RA, bahwa dia berkata :
“Rasulullah SAW memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan)
pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita,
wanita yang haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orang-orang yang
haidl maka diperintahkan menjauh dari tempat shalat, namun tetap boleh
menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Lalu aku berkata: Wahai
Rasulullah SAW salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab. Maka
Rasulullah SAW menjawab: ‘Hendaklah saudaranya itu meminjamkan
jilbabnya.”
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai
pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat
pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita
agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan
menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu
‘Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk
keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam
kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW
tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan,
tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab
Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.). (QS Al Ahzab : 59)
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah al irkha` ila asfal
(mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini diperkuat
dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda :
“Barang siapa yang melabuhkan/mengulurkan bajunya karena sombong,
maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu
Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung
pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka
mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran).’ Ummu Salamah
menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi
menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (dzira`an) dan jangan
ditambah lagi.”
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW,
pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah –yaitu jilbab–
telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan,
tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian
potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(Lihat Taqiyudin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fil Islam, hal. 45-51).
Bersambung.....