Continue reading.....
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di
sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk
menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya
dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya : “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya). (QS An Nuur : 31). Jadi,
pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan
dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan
mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu
pula celana panjang, rok, kulot, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab
bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat
menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai
penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis,
maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar
pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat
menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak
demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila
kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan
dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain
penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit
sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi
SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling
seraya bersabda :
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh
(haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan
ini.” (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi
aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi
SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu
mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju
tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh
Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
“Suruhlah isterimu melilitkan (kain lain) di bagian dalam kain
tipis itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya.”
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala
Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada
isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya
tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu,
sehingga beliau bersabda : “Suruhlah isterimu melilitkan (kain lain) di bagian dalamnya kain tipis.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas
bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain
yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi
wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis
sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
Bersambung...........